Desak Perjanjian Bilateral dengan Saudi, Netty: Pastikan PMI Terlindungi
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher menegaskan pentingnya perjanjian bilateral antara Indonesia dan Arab Saudi sebelum pemerintah mencabut moratorium pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke negara tersebut.
“Perjanjian bilateral ini penting untuk menghindari terulangnya kasus kekerasan dan ketidakadilan yang dialami para pekerja migran Indonesia di sana. Kita harus belajar dari pengalaman pahit yang menjadi dasar diberlakukannya moratorium pada 2015,” ujar Netty melalui keterangan tertulis yang diterima Parlementaria, Jumat (2/5/2025).
Netty mengingatkan, pencabutan moratorium tanpa landasan hukum yang jelas dan kuat sama saja dengan melepas anak bangsa ke dalam risiko eksploitasi. “Jangan ulangi sejarah kelam, di mana PMI kita diperlakukan semena-mena tanpa perlindungan hukum yang memadai,” tegasnya.
Sejak diberlakukannya moratorium pada 2015, tercatat banyak kasus kekerasan, penyiksaan, hingga kematian yang dialami pekerja domestik asal Indonesia di Arab Saudi. Karena itu, Netty juga mempertanyakan kelanjutan Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) yang sebelumnya menjadi skema resmi antara kedua negara.
“Kalau SPSK mau dihapus atau diubah, mana kajian resminya? Bagaimana evaluasi pelaksanaannya? Jangan sampai kita membuka kembali ruang praktik ilegal, calo, dan perdagangan manusia terselubung,” ujar legislator dari Dapil Jawa Barat VIII ini.
Netty menekankan bahwa pencabutan moratorium harus disertai dengan komitmen nyata dari pemerintah Arab Saudi dalam bentuk perjanjian yang menjamin perlindungan hak-hak PMI secara setara dan adil.
“Kita bukan mengirim mesin. Kita mengirim manusia—sebagian dari mereka adalah ibu dari anak-anak, tulang punggung keluarga, dan warga negara yang punya hak untuk dilindungi,” katanya.
Ia menambahkan bahwa perjanjian bilateral tersebut harus memuat sejumlah poin penting, seperti standar perlindungan hak asasi PMI, pengaturan jam kerja yang manusiawi, tempat tinggal yang layak, jaminan kesehatan, mekanisme penyelesaian sengketa yang adil dan cepat, akses terhadap bantuan hukum, serta sistem perekrutan yang transparan dan bebas praktik percaloan.
“Tanpa semua itu, mencabut moratorium sama saja dengan menempatkan PMI kita dalam bahaya,” pungkas Netty. (rnm/aha)