Perbaiki Tata Kelola Pendidikan dan Etika Profesi Kedokteran
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani menegaskan perlunya perbaikan menyeluruh dalam tata kelola pendidikan dan etika profesi dokter di Indonesia.
Hal itu diungkapkannya dalam rapat kerja Komisi IX DPR RI bersama Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta Dengan Menghadirkan Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), Majelis Disiplin Profesi (MDP), Kolegium Kesehatan Indonesia (KKI), Persatuan Rumah Sakit Indonesia (Persi), Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI), Asosiasi Pendidikan Kebidanan Indonesia (AIPKIND) Dan Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia (AIPNI).
Irma mengkritisi budaya saling tutup-menutupi dalam profesi dokter yang dinilainya merugikan masyarakat. Ia menilai praktik menutup-nutupi kesalahan dokter justru membahayakan publik.
“Kasus-kasus yang sudah terjadi yang selama ini mohon maaf seperti jeruk makan jeruk, tertutupi terus-menerus ya. Paradigma berpikir elitis dari para dokter terutama membuat semua kasus tidak bisa terungkapkan secara jelas dan tidak bisa diselesaikan, karena saling tutup menutupi, alasannya supaya masyarakat jangan sampai tidak percaya sama dokter. Nah ini justru lebih gawat lagi nih ya,” tegasnya.
Dalam Rapat Kerja yang dilakukan di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Rabu (30/04/2025) Irma menyoroti terkait dengan pendidikan kedokteran. Menurutnya, saat ini lemahnya koordinasi antara Konsil Kedokteran, Kolegium, dan institusi pendidikan, yang menyebabkan lulusan kedokteran kesulitan dalam uji kompetensi nasional.
“Kejadian ini mengakibatkan anak-anak sekolah kedokteran yang sudah lulus dari UGM dari UI misalnya tiba-tiba ikut ujian kompetensi bisa sampai 7, 8 kali, 9 kali, 10 kali baru lulus, ini apa-apaan ya? ini mempermalukan fakultas kedokteran lho Pak Dikti,” katanya.
Irma menuntut Ditjen Dikti lebih selektif dalam memberikan izin pendirian fakultas kedokteran dan lembaga pendidikan tenaga kesehatan lainnya.
“Makanya Dikti jangan juga memberikan izin pembangunan universitas kedokteran yang abal-abal. Jangan juga beri izin sekolah perawat, sekolah bidan yang abal-abal di seluruh Indonesia, sehingga ketika harus dikirim ke luar negeri enggak laku, kan ini yang terjadi hari ini,” katanya.
Ia juga secara tegas mendukung diadakannya tes kesehatan jiwa secara berkala kepada dokter, sebagai upaya menjaga mutu dan keselamatan pasien.
“Secara tegas kami menyampaikan kepada Kementerian Kesehatan setuju sekali dengan diadakannya tes kesehatan jiwa secara berkala untuk dokter. Dokter itu ada harus sehat kalau dia mau menyehatkan pasien, dia sendiri juga harus sehat,” tegas Irma.
Lebih lanjut, ia meminta pemerintah memberi perhatian khusus kepada peserta pendidikan dokter spesialis (PPDS) dalam bentuk kompensasi dan kontrak kerja yang adil.
“Jadi PPDS ini kan harus mendapatkan haknya kompensasi ada gaji lah, karena dia bekerja di sana, itu wajib Pak menteri lakukan, beri mereka haknya Jangan hanya diminta kewajibannya PPDS,” ungkapnya.
Ia juga menyarankan adanya kontrak kerja yang jelas antara PPDS dan rumah sakit sebagai bagian dari sistem kontrol etik.
“Saya berharap Pak Menteri Kesehatan untuk bisa melakukan kontrak. Kontrak kerja antara PPDS dan Rumah Sakit. Karena di situ dia mendapatkan insentif maka dia harus mematuhi code of conduct dari rumah sakit itu,” pungkas Irma. (gal/rdn)