Revisi UU Perlindungan Konsumen, Jangan Sampai Indonesia Hanya Jadi Pasar Negara Lain
PARLEMENTARIA, Jakarta — Anggota Komisi VI DPR RI Gde Sumarjaya Linggih mengingatkan agar Indonesia tidak terjebak menjadi sekadar pasar bagi negara-negara maju di tengah era globalisasi. Dengan memiliki sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang melimpah, jelasnya, justru bisa membuat negara rentan dibanjiri oleh kepentingan asing, bila pengawasan domestik lemah.
Demikian pernyataan ini ia sampaikan dalam agenda Rapat Dengar Pendapat Umum Panja Perlindungan Konsumen Komisi VI DPR RI dengan Kamar Dagang dan industri (KADIN), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Majelis Disiplin Profesi (MDP), Perwakilan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof. Dr. Edmon Makarim dan Dr. Akhmad Budi Cahyono, serta Perwakilan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Dr. Anna Maria Tri Anggraini di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (16/7/2025).
“Negara-negara maju sekarang ini pasarnya menurun, SDM-nya juga susah. Mereka melirik kita karena Indonesia ini punya SDM yang banyak dan pasarnya masih sangat luas tapi justru di balik itu, kita lemah, baik dalam aturan, komitmen untuk sama-sama maju, maupun dalam pengawasan,” ungkap Demer, sapaan akrabnya.
Perlu diketahui, dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa, Indonesia menjadi magnet investasi sekaligus target ekspansi bisnis global. Walaupun begitu, ucapnya, potensi besar ini bisa menjadi pisau bermata dua. Jika regulasi longgar dan pengawasan lemah, ia khawatir Indonesia hanya sekedar menjadi lahan empuk bagi produk asing yang tidak semuanya berdampak positif bagi perekonomian nasional.
Sebagai contoh, sektor kesehatan di Indonesia kini menghadapi situasi yang ironi. Banyak warga Indonesia, terutama kelas menengah ke atas, justru memilih berobat ke Malaysia. Dirinya mengungkapkan kondisi ini terjadi bukan hanya sekedar soal harga layanan kesehatan, akan tetapi juga soal daya saing sistem.
Di Malaysia, biaya medis relatif lebih kompetitif, teknologi diperbarui terus, sementara pelayanan juga unggul. Di sisi lain, Indonesia masih disibukkan oleh persoalan tarif obat, standar layanan rumah sakit, hingga fragmentasi spesialisasi yang tak terorganisir optimal.
“Sekarang ini banyak orang kita ke Malaysia. (Ini bisa terjadi karena) naik pesawat sampai sana (Malaysia) lebih murah, dapat pelayanan bagus, pulang sembuh. Kalau ini terus terjadi, IDI kita bisa lama-lama kehilangan pekerjaan,” ujar Politisi Fraksi Partai Golkar ini.
Maka dari itu, Demer juga menekankan perlunya perbaikan Undang-Undang Perlindungan Konsumen maupun regulasi sektor kesehatan agar tidak hanya kuat di atas kertas. Ia pun mengingatkan agar kompetisi di sektor medis tidak terjebak pada persaingan antarprofesi dalam negeri semata, melainkan menyiapkan diri menghadapi kompetisi global.
“Kita ini sudah global, sudah borderless. (Visa) Eropa Schengen sudah terbuka. Kalau kita tidak berbenah, nanti kita ditinggal,” jelasnya.
Mengakhiri pernyataannya, Demer berharap masukan dan aspirasi dari berbagai stakeholder lain bisa dirumuskan menjadi pasal-pasal yang memperkuat perlindungan, menata layanan, dan meningkatkan daya saing sektor kesehatan nasional. “Kalau kita bisa bersaing, masyarakat dapat layanan yang sesuai, dokter kita juga sejahtera. Tapi semua itu kembali ke komitmen kita bersama, bukan cuma aturan, tapi bagaimana kita menjalankan dan mengawasi dengan benar,” pungkas legislator dari Bali itu. (um/rdn)