Revisi UU Perlindungan Konsumen Harus Tekankan Aspek Pencegahan daripada Penyelesaian Persoalan
PARLEMENTARIA, Jakarta — Anggota Komisi VI DPR RI Khilmi menilai Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang eksisting saat ini masih lemah dalam implementasi di lapangan. Sebab, menurutnya, regulasi ini lebih banyak mengatur penyelesaian sengketa setelah kerugian terjadi, alih-alih mencegah masalah sejak awal, yang mana cenderung hanya aktif ketika sudah muncul perkara di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau di pengadilan.
Demikian pernyataan ini ia sampaikan dalam agenda Rapat Dengar Pendapat Umum Panja Perlindungan Konsumen dengan Kamar Dagang dan industri (KADIN), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Majelis Disiplin Profesi (MDP), Perwakilan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof. Dr. Edmon Makarim dan Dr. Akhmad Budi Cahyono, serta Perwakilan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Dr. Anna Maria Tri Anggraini di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Rabu (16/7/2025).
“Kita ini baru ribut setelah ada korban. Sementara perlindungan sebelum barang beredar, itu justru belum diatur kuat,” ungkap Khilmi.
Sebagai contoh, paparnya, ketika marak peredaran krim kecantikan palsu yang baru terbongkar usai banyak konsumen yang melaporkan mengalami kerusakan kulit setelah menggunakan produk tersebut. Begitu pula, dengan kasus anak-anak yang masih belia harus menjalani cuci darah, yang ia sinyalir akibat konsumsi produk yang tidak melalui uji kelayakan memadai.
“(Saya dapat laporan) sekarang anak umur 8 tahun, 11 tahun sudah cuci darah. Ini akibat barang yang diedarkan tanpa penelitian benar. Harusnya sebelum beredar sudah jelas aman atau tidaknya,” ujarnya.
Berangkat dari masalah-masalah ini, Khilmi mendorong agar revisi UU Perlindungan Konsumen nantinya memberi perhatian khusus pada pasal-pasal tentang kewajiban verifikasi dan sertifikasi produk sebelum dipasarkan. “Saya ingin rancangan perubahan UU Konsumen ini paling pokok mengatur barang sebelum beredar. Jadi kalau nanti ada masalah hukum, konsumen kita kuat untuk menuntut,” jelasnya.
Selain itu, Khilmi juga menyinggung kasus mobil listrik asal Tiongkok yang pabriknya sudah bangkrut di negara asal, namun justru mulai masuk pasar Indonesia. “Kalau nanti rusak, suku cadangnya tidak ada, siapa yang tanggung jawab? Jangan sampai konsumen kita lagi yang dirugikan,” kata Khilmi.
Oleh karena itu, Politisi Fraksi Partai Gerindra ini berharap masukan dari para narasumber yang hadir dalam forum tersebut bisa memperkuat rancangan perubahan undang-undang tersebut. Menurutnya, perlindungan konsumen yang kuat tidak hanya melindungi hak pembeli, tetapi juga menjaga kesehatan pasar dan kredibilitas industri nasional ke depan. (um/rdn)