Komisi IX Soroti Urgensi Aksi Konkret Eliminasi TBC: Indonesia di Ambang Peringkat Pertama Dunia
PARLEMENTARIA, Jakarta - Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Nihayatul Wafiroh, menegaskan pentingnya langkah nyata dan sinergi lintas sektor dalam upaya percepatan eliminasi Tuberkulosis (TBC) di Indonesia. Hal tersebut disampaikannya usai mengikuti Rapat Panitia Kerja (Panja) Percepatan Eliminasi TBC bersama sejumlah organisasi profesi, lembaga masyarakat sipil, dan kementerian terkait, di Gedung DPR RI, di Jakarta, Senin (14/7/2025).
Nihayatul mengungkapkan keprihatinannya terhadap status Indonesia yang kini menempati peringkat kedua tertinggi di dunia dalam jumlah kasus TBC, hanya berada di bawah India.
“Karena salah satunya kita ini sudah naik peringkat dari dulu peringkat ke-5 sekarang menjadi peringkat ke-2. Nah, satu langkah lagi sudah menjadi peringkat pertama, kita ini dibawah India. Tentunya kita perlu sangat waspada bagaimana untuk bisa menurunkan TBC ini,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa tantangan utama dalam penanganan TBC masih cukup kompleks, dimulai dari rendahnya kesadaran masyarakat bahwa penyakit ini bersifat menular. Selain itu, keterbatasan alat deteksi dini seperti Tes Cepat Molekuler (TCM) juga menjadi kendala serius karena belum tersedia secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Padahal, alat ini dapat mendeteksi TBC melalui sampel air liur secara cepat dan akurat.
Tak hanya itu, Indonesia juga masih menghadapi persoalan ketergantungan terhadap impor obat-obatan TBC. Menurut Nihayatul, negara belum memiliki kemandirian dalam produksi obat, yang justru sangat dibutuhkan dalam proses penyembuhan yang cukup panjang. Pasien TBC harus menjalani pengobatan rutin minimal enam bulan, dan itu memerlukan kedisiplinan serta pengawasan ketat dari petugas layanan kesehatan.
“Kalau tidak ada supervisi yang konkret, belum tentu pasien mau atau telaten minum obat setiap hari. Di sinilah pentingnya peran puskesmas atau pos pengendalian TBC untuk benar-benar mengontrol,” ujarnya.
Kondisi geografis Indonesia yang luas, termasuk daerah-daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar), juga menjadi tantangan tersendiri. Ketika sampel pasien dikirim ke laboratorium di daerah lain, proses diagnosis bisa memakan waktu hingga satu hingga dua bulan, yang berisiko memperbesar penyebaran penyakit.
Lebih lanjut, ia juga menyoroti minimnya tenaga medis spesialis di banyak wilayah, seperti dokter paru dan dokter penyakit dalam. Bahkan di kota besar pun, ketersediaan obat terkadang masih menjadi masalah yang belum terselesaikan.
“Transportasi dan distribusi juga menjadi perhatian. Apalagi kita ini kan negara kepulauan. Di daerah pinggiran, masyarakat bahkan tidak menganggap ini penyakit serius. Mereka hanya mengira ini batuk biasa,” tutur Politisi Fraksi PKB ini.
Menurut Nihayatul, untuk menjadikan eliminasi TBC sebagai program prioritas nasional, pemerintah perlu memperkuat alokasi anggaran dan mengintegrasikan program dengan pendekatan pendidikan masyarakat tentang pentingnya lingkungan hidup yang sehat.
“Kita juga butuh pendidikan kepada masyarakat. Lingkungannya harus sehat. Masyarakat juga harus dibentuk konsepnya tentang lingkungan yang sehat itu seperti apa,” tambahnya.
Menutup pernyataannya, Nihayatul menyebut Panja akan merumuskan rekomendasi kebijakan berbasis praktik baik untuk mendukung target eliminasi TBC tahun 2030. Ia juga mengusulkan agar Peraturan Presiden Tahun 2021 yang menjadi dasar kebijakan penanggulangan TBC dievaluasi kembali.
“Tadi para ahli menyampaikan bahwa Perpres tahun 2021 perlu dikaji ulang karena sudah tidak relevan lagi, apalagi dikaitkan dengan kondisi dan tantangan saat ini. Ini yang akan kita elaborasi, dan nanti di akhir Panja kita akan berikan rekomendasi-rekomendasi itu,” pungkasnya. (we/rdn)