DPR Tegaskan UU Pengelolaan Zakat Tak Langgar Konstitusi
PARLEMENTARIA, Jakarta — Anggota Komisi III DPR RI, Muhammad Nasir Djamil, menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pernyataan tersebut ia sampaikan saat mewakili DPR RI dalam sidang perkara Nomor 54/PUU-XXIII/2025 di Mahkamah Konstitusi, terkait uji materi sejumlah pasal dalam UU Pengelolaan Zakat.
“Zakat adalah pranata keagamaan yang wajib bagi umat Islam dan berfungsi meningkatkan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, pengelolaannya harus diatur secara melembaga, sesuai prinsip syariat Islam, akuntabilitas, dan keadilan,” ujar Nasir Djamil di hadapan Majelis Hakim MK, Selasa (8/7/2025).
Nasir menjelaskan, pembentukan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) merupakan bentuk implementasi dari tanggung jawab negara dalam menjamin kemerdekaan beragama, sekaligus menjamin efektivitas pengumpulan dan pendistribusian zakat secara merata di seluruh Indonesia.
Menanggapi keberatan pemohon yang menyebut ketentuan dalam UU tersebut menghalangi kebebasan berzakat sesuai keyakinan, DPR menyatakan bahwa pengaturan yang ada justru selaras dengan prinsip-prinsip syariah. “Pasal-pasal a quo telah mempertimbangkan ketentuan dalam Al-Qur’an, hadist, dan fiqh, dan bahkan mengakomodasi transparansi serta pengurangan pajak atas pembayaran zakat,” tambahnya.
Terkait tudingan bahwa BAZNAS bertindak sebagai regulator, operator, sekaligus auditor sehingga berpotensi bertindak sewenang-wenang, Nasir Djamil menegaskan bahwa pengawasan tetap berada di bawah Kementerian Agama, termasuk audit syariah dan keuangan oleh pihak independen. “Laporan BAZNAS disampaikan kepada Presiden melalui Menteri dan juga ke DPR RI, setidaknya satu kali dalam setahun. Mekanisme check and balance tetap berjalan,” ujarnya.
DPR RI juga menolak anggapan bahwa keberadaan LAZ di bawah koordinasi BAZNAS menunjukkan subordinasi yang melanggar hak. Menurut Nasir, hal itu merupakan bentuk kebijakan hukum terbuka (open legal policy) untuk menjamin keterpaduan sistem pengelolaan zakat nasional.
Dalam petitumnya, DPR RI meminta Mahkamah menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima karena pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). Selain itu, DPR meminta Mahkamah menolak permohonan uji materi tersebut untuk seluruhnya dan menyatakan pasal-pasal yang diuji tetap konstitusional.
DPR RI juga menyampaikan bahwa revisi terhadap UU Pengelolaan Zakat telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2025–2029, pada urutan ke-18. “Kami terbuka atas partisipasi masyarakat, termasuk para pemohon, dalam menyempurnakan pengaturan zakat ke depan,” pungkas Nasir. (ssb/aha)