Fikri Faqih: Serapan Anggaran Kebudayaan Rendah, Sejarah Butuh Dokumentasi Komprehensif
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih menyoroti dua isu krusial usai rapat kerja dengan Menteri Kebudayaan, yakni rendahnya serapan anggaran dan pentingnya dokumentasi sejarah kebudayaan secara komprehensif.
Fikri, sapaan akrabnya, menyatakan terkejut ketika Menteri Kebudayaan mengangkat isu sejarah, mengingat agenda utama rapat berfokus pada anggaran. Namun, ia menekankan bahwa pembahasan sejarah adalah hal yang amat penting dan membutuhkan penjelasan memadai.
Legislator dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) ini mencontohkan pengalamannya saat bertemu dengan Duta Besar Australia, Rodrick Brazier. Kala itu, Duta Besar Rodrick mempertanyakan keberadaan "official history" atau sejarah resmi Indonesia, yang kemudian memicu pertanyaan tentang "non-official history" atau sejarah tidak resmi.
Menurut Fikri, idealnya berbagai versi sejarah dapat didokumentasikan. Ini mencakup sudut pandang dari pihak-pihak yang berbeda, seperti versi pasukan yang tidak berpihak kepada Pangeran Diponegoro, versi Pangeran Diponegoro sendiri, bahkan versi dari pihak Belanda.
“Contoh sejarah tentang Babad Diponegoro itu ditulis paling tidak tiga versi: versi Pangerang Diponegoro sendiri, versi Belanda, bahkan versi pelaku yakni eks Bupati Purworejo,” ujar Fikri dalam keterangan persnya kepada Parlementaria Senin (7/7/2025) di Jakarta.
Ia menambahkan bahwa istilah "pejuang" dan "pemberontak" bisa berbeda tergantung sudut pandang. Pendekatan ini, menurutnya, akan lebih adil dan memungkinkan logika akademik untuk menguji serta menentukan versi mana yang valid untuk kepentingan penelitian atau riset sejarah.
Di sisi lain, terkait isu anggaran, Fikri menyoroti rendahnya penyerapan anggaran Kementerian Kebudayaan. Hingga 27 Juni 2025, rata-rata penyerapan anggaran mitra Komisi X DPR RI, termasuk Kementerian Kebudayaan, baru mencapai 19,41%.
Angka ini jauh tertinggal dibandingkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Badan Pusat Statistik (BPS) yang serapannya mencapai lebih dari 40%.
"Meskipun bukan hanya serapan, namun ini kompetisi akuntabilitas dan nilai manfaat. Tapi Kemenbud harus berusaha lebih keras lagi menggesa pelaksanaan program," jelas Fikri.
Ia juga mengungkapkan kekagetannya atas usulan kenaikan anggaran yang fantastis dari Rp 827 miliar menjadi Rp 5,7 triliun. Menurutnya, Kementerian Kebudayaan harus memiliki narasi kuat untuk menjelaskan alasan penambahan anggaran sebesar Rp 4,7 triliun tersebut dalam pertemuan trilateral mendatang.
"Bukan hanya formal, namun pembahasan yang lebih substansial. Sehingga anggota Banggar dari Komisi X pun bisa memperjuangkan penguatan pembahasan di Badan Anggaran selanjutnya," papar legislator dari daerah pemilihan (Dapil) IX Jawa Tengah (Kabupaten Tegal, Kota Tegal, dan Kabupaten Brebes) ini.
Fikri juga meminta ada penjelasan dari Menteri Kebudayaan apakah sudah ada pembicaraan di luar forum resmi (trilateral meeting) mengenai anggaran yang sangat besar ini.
"Sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, kebudayaan seharusnya bukan 'cost center' yang hanya menghabiskan anggaran. Melainkan, kebudayaan dapat menjadi 'sumber ekonomis' yang memajukan bangsa dan menjadikan Indonesia lebih beradab serta berbudaya," jelas Fikri.
Terakhir, Fikri juga menyoroti kondisi memprihatinkan para budayawan, terutama setelah pandemi COVID-19. Banyak budayawan kesulitan mengakses sarana untuk tampil dan berkomunikasi, bahkan ada yang terpaksa menjual alat musik demi bertahan hidup.
Atas dasar itu, Fikri berharap dana Indonesiana dapat menjadi "secercah harapan" bagi mereka.
“Faktanya dana Indonesiana dikeluhkan para budayawan yang susah mengakses dan sangat berbelit belit prosedurnya. Sehingga sangat sedikit dari mereka yang dapat memanfaatkannya,” pungkasnya. (tn/aha)