Jangan Anggap Enteng Ancaman Bom di Maskapai Saudi Airlines, Polri Harus Usut Tuntas

22-06-2025 / KOMISI III

PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI Surahman Hidayat mengapresiasi kesigapan Densus 88 Antiteror Polri yang saat ini sedang menyelidiki kasus ancaman bom terhadap pesawat Saudi Airlines nomor penerbangan SV-5726 yang membawa jemaah haji Indonesia dari Jeddah ke Jakarta.

 

Pesawat Saudi Airlines SV-5726 sempat mendarat darurat di Bandara Kualanamu, Sumatera Utara, dikarenakan ada ancaman bom yang dikirim melalui email dan ditulis dalam bahasa Inggris. Pengirim email tersebut diduga berasal dari luar negeri, kemungkinan India.

 

“Saya mengapresiasi kinerja tim penjinak Bom Satuan Brimob Polda Sumatera Utara untuk memeriksa pesawat SV-5726 yang sempat mendarat darurat di Bandara Kualanamu dan melakukan pengamanan bersama satuan TNI dari Kodam I/Bukit Barisan dan TNI AU. Tim gabungan dengan sigap telah menyisir seluruh bagian pesawat termasuk kabin, ruang kargo, dan barang-barang yang diangkut. Hasilnya, tidak ditemukan bahan peledak atau benda mencurigakan dan semuanya dinyatakan aman,” ujar Surahman dalam keterangan tertulis yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Minggu (22/6/2025)

 

Surahman berpendapat dari sisi hukum Indonesia, ancaman bom terhadap pesawat, baik nyata maupun palsu, bukan sekadar pelanggaran biasa, tapi bisa dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme. Dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, ancaman kekerasan yang menimbulkan rasa takut secara meluas, apalagi terhadap objek vital seperti pesawat dan bandara, dapat dijerat sebagai aksi terorisme. Bahkan jika bom-nya tidak nyata, niat dan dampaknya tetap masuk kategori ini.

 

Anggota DPR RI Dapil Jawa Barat X (Kab. Ciamis, Pangandaran, Kuningan, Kota Banjar) ini juga mengatakan dalam UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 437 juga menyebutkan bahwa siapa pun yang menyampaikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan penerbangan bisa dipidana hingga 8 tahun penjara.

 

Serta dalam KUHP Baru, UU Nomor 1 Tahun 2023 Pasal 600 telah diatur bahwa menyebarkan informasi palsu tentang ancaman bom di pesawat bisa dipidana karena mengganggu ketertiban umum dan keamanan nasional.

 

“Jadi, meskipun ancaman itu dikirim lewat email dan ternyata palsu, pelakunya tetap bisa dijerat hukum berat. Apalagi kalau terbukti ada motif ideologis atau politik, seperti yang sedang didalami Densus 88 dalam kasus ini,” kata Politisi Fraksi PKS ini

 

Surahman juga menyampaikan apresiasi atas kesigapan Densus 88 yang telah berkoordinasi dengan otoritas Arab Saudi dan juga Interpol untuk melacak pelaku pengirim ancaman bom pesawat SV-5726 yang membawa jamaah haji Indonesia Kloter 12 Embarkasi Jakarta-Bekasi (JKS). Langkah yang sangat baik karena objek yang diancam adalah aset milik Saudi yang sedang berada di wilayah Indonesia.

 

“Saya minta Polri usut tuntas kasus ini. Karena kasus ini tidak bisa dianggap enteng, apalagi menyangkut keselamatan jemaah haji Indonesia dan kredibilitas sistem keamanan nasional. Densus 88 dan pihak terkait memang perlu menuntaskan penyelidikan sampai ke akarnya, termasuk siapa pelaku, apa motifnya, dan apakah ada jaringan yang terlibat,” imbuh Surahman.

 

Menurut Surahman, analisis awal yang menyebutkan pelaku pengiriman email yang diduga kemungkinan dari India perlu ditelusuri lebih dalam. Karena IP address tidak selalu mencerminkan lokasi pelaku yang sebenarnya.

 

“Dengan menggunakan VPN atau proxy, pelaku bisa dengan mudah menyamarkan lokasinya memakai layanan VPN atau jaringan proxy dari negara lain, misalnya memantulkan koneksi melalui server di India. Dengan mengunakan email spoofing atau server relay, bisa saja email dikirim melalui server pihak ketiga, atau bahkan dengan teknik spoofing yang menyamarkan asal usul sebenarnya,” ungkapnya.

 

Bahkan, imbuhnya, dalam kasus ekstrem, pelaku menggunakan jaringan botnet, yakni komputer orang lain yang terinfeksi malware sebagai ‘perantara’, jadi jejak digitalnya menyasar ke pihak yang sama sekali tidak terlibat.

 

“Kasus ini membutuhkan penyelidikan cybercrime yang melibatkan teknik digital forensik yang cukup rumit, yang tidak cuma melacak alamat IP dan server pengirim, tapi juga pola komunikasi, metadata, dan butuh bantuan otoritas luar negeri untuk mengurai jalur lintas negara jika terindikasi pelaku berada di luar negeri. Diperlukan juga audit keamanan bandara untuk mengevaluasi respons dan pencegahan ke depan,” pungkas Surahman. (rdn)

BERITA TERKAIT
Penghadangan Mahasiswa di Blitar, Bentuk Pengingkaran terhadap Hak Konstitusional Warga Negara
24-06-2025 / KOMISI III
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI Abdullah mengkritik penghadangan dan penahanan sementara terhadap tiga mahasiswa oleh aparat pengamanan...
Jangan Anggap Enteng Ancaman Bom di Maskapai Saudi Airlines, Polri Harus Usut Tuntas
22-06-2025 / KOMISI III
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI Surahman Hidayat mengapresiasi kesigapan Densus 88 Antiteror Polri yang saat ini sedang...
Kecelakaan Lalu Lintas Naik Delapan Kali Lipat, Nasir Djamil: Ini Bukan Hanya Soal Pengemudi
22-06-2025 / KOMISI III
PARLEMENTARIA, Jakarta - Lonjakan drastis angka kecelakaan lalu lintas menjadi sorotan Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil. Dalam forum...
Komisi III Desak Bawas MA Usut Hakim dalam Putusan Royalti Agnez Mo
21-06-2025 / KOMISI III
PARLEMENTARIA, Jakarta— Komisi III DPR RI mendesak Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) segera menindaklanjuti dugaan pelanggaran kode etik dan...