RUU PPRT langkah Historis Tegaskan Eksistensi dan Hak PRT

20-05-2025 / BADAN LEGISLASI

PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Longki Djanggola menyebut RUU PPRT merupakan langkah historis dalam menegaskan eksistensi dan hak-hak pembantu rumah tangga yang selama ini hidup dalam ruang gelap ketenagakerjaan. Menurutnya, Pengakuan formal atas relasi kerja domestik adalah hal yang niscaya dalam negara hukum yang beradab.

 

Meski demikian, menurutnya RUU PPRT ini memerlukan penguatan sistemik agar ia tidak menjadi hukum simbolik yang tidak aplikatif. Oleh karena itu, Longki memberikan sejumlah sorotan terkait RUU PPRT.

 

“Ketua dan teman-teman yang saya hormati, beberapa catatan kritik konstruktif yang saya ingin sampaikan pada sore hari ini antara lain: Pertama, yaitu status hukum pembantu rumah tangga yang masih ambigu. Dalam Pasal 1 ayat 3, hubungan kerja tersebut disebut sebagai hubungan sosio-kultural. Istilah ini multitafsir dan berpotensi mengaburkan status pembantu pekerja rumah tangga sebagai pekerja,” ungkapnya dalam dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Baleg DPR RI bersama Ketua Komnas HAM, Ketua Komnas Perempuan, dan Dr. Sabina Satriyani Puspita dari Monash University Indonesia di Gedung Nusantara I DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (20/5/2025).

 

Ia menilai bahwa Hubungan kerja seharusnya ditegaskan sebagai relasi industrial yang tunduk pada prinsip-prinsip ketenagakerjaan nasional dan internasional. Maka dari itu, ia mengusulkan agar frasa "sosio-kultural" dihilangkan  karena dinilai ambigu dan meminta pada poin itu agar dipertegas bahwa hubungan kerja PRT tunduk pada undang-undang ketenagakerjaan.

 

“Dengan penyesuaian domestik yang tidak mengurangi hak-hak pekerja,” imbuhnya.

 

Kedua, ia menyoroti perihal status hukum perjanjian kerja. Longki menilai, RUU ini membuka ruang bagi perjanjian kerja tidak tertulis pada Pasal 1 poin 3. Menurutnya, hal itu rentan menimbulkan pelanggaran, eksploitasi, dan ketidakpastian hukum. Maka dari itu, ia mengusulkan untuk mewajibkan perjanjian kerja tertulis bagi semua jenis perekrutan langsung dan tidak langsung dengan format baku dan pendampingan dari lembaga negara.

 

“Semisal Dinas Ketenagakerjaan atau RT/RW yang diberi pelatihan,” lanjut Longki.

 

Catatan lainnya yakni ketiga, mengenai relasi kuasa dalam konsep kekeluargaan. Ia mengungkapkan bahwa pada Pasal 2 huruf a disebutkan bahwa perlindungan PRT berasaskan kekeluargaan. Asas ini menurutnya berpotensi memburamkan relasi kuasa antara PRT dan pemberi kerja.

 

“Relasi kerja seharusnya didasari atas kesetaraan hukum, bukan berpendekatan normatif-kultural yang justru bisa memperlemah posisi PRT dalam penyelesaian sengketa atau pelanggaran hak. Usulan: hapus atau revisi asas kekeluargaan. Perkuat asas kesetaraan dan non-diskriminasi sebagai prinsip dasar relasi industrial domestik,” jelasnya.

 

Keempat, lanjutnya, terkait penyalur PRT. RUU ini menurutnya melegitimasi keberadaan penyalur PRT melalui CUPPRT pada Pasal 4 dan 5. Ia mengungkapkan bahwa sejarah panjang praktik trafficking dan eksploitasi oleh penyalur menunjukkan bahwa tanpa mekanisme pengawasan ketat, sistem ini sangat rawan disalahgunakan.

 

“Usulan: harus ada penguatan peran negara melalui kementerian dan pemda untuk mengawasi secara aktif proses rekrutmen serta menjamin bahwa penyalur tidak menjelma menjadi agen tenaga kerja informal tanpa perlindungan hak,”ungkap politisi Fraksi Partai Gerindra ini.

 

Catatan kelima, mengenai minimnya mekanisme penegakan hukum. Ia menilai RUU ini cenderung memusatkan penyelesaian konflik pada mediasi melalui pemerintah daerah namun tidak memberikan rujukan jelas ke pengadilan hubungan industrial atau mekanisme perlindungan pekerja secara nasional. Maka dari itu, ia mengusulkan terkait perlunya pencantuman mekanisme pengawasan, pelaporan pelanggaran, dan sanksi yang jelas.

 

“termasuk kewenangan lembaga pengawas ketenagakerjaan untuk masuk ke ranah kerja domestik tanpa harus menunggu laporan,” tegasnya.

 

Keenam, lanjutnya, tentang jaminan sosial yang parsial. Ia menyebut bahwa ada Pasal 11 dan 12, jaminan sosial ketenagakerjaan tidak dijamin sepenuhnya oleh pemberi kerja dan justru dibebankan kepada PRT, padahal mereka adalah kelompok rentan dengan daya tawar yang rendah. Ia mengusulkan agar negara dan pemberi kerja perlu menanggung penuh jaminan sosial ketenagakerjaan PRT.

 

“khususnya untuk PRT penuh waktu demi prinsip keadilan sosial dan affirmative action terhadap kelompok marginal,” tekannya.

 

Ketujuh, tentang tidak adanya standar upah dan waktu kerja yang tegas. Ia mengungkapkan bahwa pada Pasal 6 dan 7 menyebut pengelolaan waktu kerja namun tidak disertai standar upah minimum, batasan jam kerja maksimum diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan lainnya. Menurutnya, ini akan celah agresif terhadap pemanfaatan tenaga kerja tanpa batas.

 

“Usulan: sertakan klausul eksplisit terkait batas waktu kerja maksimal, misalnya 8 jam per hari, hak atas hari libur mingguan, dan upah minimum layak yang dapat disesuaikan dengan UMR daerah,” jelas Longki.

 

Catatan kedelapan, Longki menyoroti hak atas upah layak dan kesetaraan masih lemah. Ia mengungkapkan bahwa Dalam Pasal 11 huruf d disebutkan bahwa PRT berhak mendapatkan upah berdasarkan kesepakatan, namun tidak ada ketentuan upah minimum khusus untuk PRT. Padahal tanpa dasar angka konkret, pemberi kerja bebas menetapkan upah sangat rendah, jauh di bawah UMP. Ia mengusulkan agar ada tambahan klausul bahwa upah PRT tidak boleh lebih rendah dari UMP setempat serta dijamin tunjangan hari raya, hari libur, dan lembur.  

 

Catatan kesembilan, yakni mengenai beban administratif yang tidak perlu bagi PRT. Ia menyebut bahwa Kewajiban bagi PRT untuk melapor ke RT/RW pada Pasal 13 huruf f berpotensi menjadi alat kontrol sosial yang menambah beban administratif pada pekerja, bukan pada pemberi kerja yang lebih memiliki sumber daya.

 

“Usulan: alihkan kewajiban ini pada pemberi kerja, sediakan layanan pelaporan digital melalui dinas ketenagakerjaan di setiap tempat, bukan lewat RT/RW yang bisa tidak netral,” katanya.

 

Kesepuluh, terkait ketimpangan sanksi dan perlindungan. Ia mengungkapkan bahwa RUU ini memuat sanksi pidana atau administratif yang tegas terhadap pemberi kerja atau penyalur yang melanggar hak-hak PRT. Padahal, pelanggaran terhadap PRT kerap berupa kekerasan, pelecehan, dan pengabaian hak upah. Maka dari itu, ia mengusulkan agar ditambahkannya bab atau pasal khusus mengenai sanksi pidana, perdata, dan administratif bagi para pemberi kerja maupun penyalur yang melanggar hukum.

 

Kesebelas, ia menilai perlindungan dari kekerasan perlu diperkuat. Pasalnya, RUU ini belum mengatur secara tegas mekanisme pengaduan, perlindungan darurat, atau sanksi terhadap kekerasan fisik, psikis, dan seksual yang menimpa PRT.

 

“Usulan: tambahkan pasal khusus yang mengatur mekanisme pengaduan yang mudah diakses serta perlindungan sementara bagi korban,” ujar Longki.

 

Adapun di akhir, ia mengungkapkan bahwa RUU PPRT merupakan jalan menuju keadilan sosial. Ia menilai bahwa RUU PPRT adalah awal yang baik tetapi belum akhir perjuangan. Maka dari itu, menurutnya, jika benar ingin melindungi mereka yang selama ini tidak terlihat oleh sisi hukum, maka substansi hukum itu harus radikal dan berpihak kepada yang lemah.

 

“Dan jangan biarkan hukum ini hanya menjadi formalitas yang melanggengkan ketimpangan struktural di ruang domestik. Sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 28 di Undang-Undang 1945, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum, Maka jangan biarkan pekerja rumah tangga menjadi pengecualian,” pungkasnya. (hal/aha)

BERITA TERKAIT
Imam Sukri: Baleg Komitmen Hasilkan Produk legislasi Terbaik dalam Pembahasan RUU PPRT
26-05-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI A Iman Sukri menegaskan bahwa Rancangan Undang-Undang tentang Pelindungan Pekerja...
Legislator Soroti Lambannya Respons Pemerintah atas Krisis Industri Tekstil
26-05-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Firman Soebagyo, menyampaikan kritik tajam terhadap lambannya respons pemerintah dalam menangani...
Perlindungan Hukum dan Aspek Sosiologis Harus Jadi Dasar Pembahasan RUU PPRT
24-05-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, JAKARTA - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Al Muzzammil Yusuf, mendorong agar Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga...
RUU PPRT Perlu Atur Ketentuan Saat PRT Masih dalam Pengasuhan Agen
24-05-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Andi Yuliana Paris mendorong agar ketentuan mengenai pekerja rumah tangga (PRT)...