19 April 1965: Kilas Balik CONEFO Cikal Bakal Gedung Parlemen
PARLEMENTARIA, Jakarta - Kompleks MPR/DPR/DPD RI awalnya ditujukan sebagai secretariat Conference of the Emerging Forces (CONEFO). CONEFO merupakan lembaga perserikatan bangsa-bangsa bentukan Soekarno yang memiliki spirit untuk meredam neo-kolonialisme dan neo-imperialisme, terutama dari negara- negara Barat. Salah satu Langkah awal yang dilakukan oleh Soekarno adalah membangun kawasan sekretariat CONEFO yang berfungsi sebagai tempat rapat dan bersidang para anggota CONEFO kelak.
Presiden Soekarno kemudian memilih sebagian kawasan Senayan yang luasnya mencapai 80 hektar sebagai tempat sekretariat CONEFO. Peletakan batu pertama pembangunan dilakukan pada 19 April 1965 atau bertepatan pada momentum peringatan sepuluh tahun penyelenggaraan Konferensi Asia- Afrika. Kompleks CONEFO dirancang dengan mengusung konsep kepribadian bangsa Indonesia, mampu menjawab tantangan zaman, dan megah.
Maka, Soekarno menunjuk arsitek-arsitek handal dari Indonesia untuk merancang Kompleks CONEFO. Akhirnya, terpilih rancangan dari Soejoedi Wirjoatmodjo dengan dibantu arsitek handal lain, seperti: Soetami, Slamet Wirasonjaya, dan Nurponco.
Pembangunan Kompleks CONEFO melibatkan banyak pekerja, baik profesional maupun sukarelawan. Tercatat, terdapat kurang lebih 27.000 tenaga yang membangun Kompleks CONEFO. Banyaknya jumlah pekerja kemudian memunculkan istilah “armada semut”, karena jika dilihat dari kejauhan, ribuan pekerja tampak seperti semut yang bekerja.
Kompleks CONEFO ditargetkan selesai pembangunannya pada 17 Agustus 1966. Namun, target tersebut tidak tercapai karena terdapat peristiwa G30S pada 30 September 1965. Peristiwa tersebut turut menyumbang dampak terhambatnya pembangunan Kompleks CONEFO. Pasca Peristiwa G30S, kekuasaan Soekarno tampak melemah dan mengakibatkan surutnya pergerakan CONEFO di kancah internasional.
Hal itu berakibat pada mandeknya proyek Kompleks CONEFO. Akhirnya, Soeharto yang memiliki kuasa lewat Supersemar, mengalihfungsikan Kompleks CONEFO menjadi Kompleks Parlemen pada 9 November 1966.
Pembangunan terus berlanjut. Terdapat 4 gedung utama yang dibangun pada masa awal, yaitu: Gedung Konferensi, Gedung Sekretariat, Gedung Perjamuan, dan Gedung Pastjad. Akhirnya, pada 18 Maret 1968, Kompleks Parlemen dapat difungsikan sebagai tempat bersidang oleh Badan Pekerja MPRS untuk Sidang Umum ke-V.
Salah satu gedung yang paling unik di Kompleks MPR/DPR/DPD adalah Gedung Nusantara, yang memiliki makna filosofis merepresentasikan Indonesia. Bentuk kubah menyimbolkan kepakan sayap Garuda, lambing negara Indonesia. Sedangkan, dua struktur beton yang melewati kubah menyimbolkan cengkraman Garuda. Simbol tersebut bermakna bahwa Indonesia dapat terbang tinggi melampaui bangsa-bangsa lain dengan tetap berpegang pada identitas dan jati dirinya.
Secara teknis, bentuk atap Gedung Nusantara dibuat sedemikian rupa agar di dalam Ruang Sidang Paripurna I tidak ada tiang pemancang vertikal yang akan menghalangi pandangan peserta sidang serta agar tidak mengurangi kapasitas kursi di dalamnya.
Hingga sekarang, terjadi penambahan beberapa gedung baru, baik untuk Sekretariat Jenderal DPR, ruangan Anggota DPR, tempat ibadah, ruang terbuka hijau, dan lain sebagainya. Teruntuk Gedung Nusantara, Gedung Nusantara II, Gedung Nusantara III, Gedung Nusantara IV, dan Gedung Nusantara V, statusnya sekarang adalah Bangunan Cagar Budaya Tingkat Provinisi DKI Jakarta, sejak tahun 1993. Kompleks MPR/DPR/DPD RI akhirnya menjadi monument hidup karena hingga sekarang, kompleks ini masih digunakan sebagai tempat rapat dan sidang para Anggota DPR. (rdn)