Tax Amnesty Jilid III Harus Hidupkan Kepercayaan Wajib Pajak dan Dukung UMKM
PARLEMENTARIA, Pontianak - Pemerintah Indonesia berencana akan memberlakukan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau Tax Amnesty Jilid III. Wacana ini mengemuka usai DPR resmi memasukan RUU Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025.
Upaya ini dilakukan sebagai salah satu langkah strategis guna menutup defisit anggaran yang mencapai sekitar Rp600 triliun. Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Banggar DPR RI Syarief Abdullah Alkadrie menilai kebijakan ini perlu dilakukan namun dengan catatan harus dilaksanakan dengan cermat.
Menurutnya, kebijakan ini juga mendukung pembangunan nasional. “Tax amnesty memungkinkan dana yang selama ini berada di luar negeri untuk kembali ke Indonesia. Dengan skema pengampunan pajak yang tepat, kita bisa menarik dana itu sekaligus memperkuat likuiditas nasional,” kata Syarief saat ditemui oleh Parlementaria di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, Kamis (28/11/2024).
Politisi Fraksi NasDem itu menilai, tax amnesty bukan sekadar soal penerimaan pajak, melainkan juga cara menghidupkan kembali kepercayaan wajib pajak yang selama ini mungkin enggan mengungkap aset mereka karena khawatir dikenakan sanksi berat.
“Kuncinya adalah transparansi. Pemerintah harus memastikan bahwa manfaat tax amnesty dirasakan oleh semua, bukan hanya segelintir orang”
Sebagai informasi, kebijakan tax amnesty jilid I tahun 2016 mampu memperoleh deklarasi dari dalam negeri mencapai Rp2.217 triliun, deklarasi luar negeri mencapai Rp896 triliun, dan repatrasi mencapai Rp131 triliun. Lalu, pada jilid II tahun 2022, kebijakan ini berhasil memperoleh deklarasi dalam negeri dan repatriasi sebesar Rp 8,84 triliun dan investasi sebesar Rp 617,24 miliar serta harta deklarasi luar negeri Rp 798,07 miliar.
Mengetahui angka tersebut, ia melihat hanya sebagian kecil dana repatriasi yang bisa diperoleh. Menurutnya, hal itu bisa terjadi karena kurangnya pengawasan terhadap dana yang telah diampuni sehingga banyak yang kembali 'hilang' ke luar negeri.
“Kita harus belajar dari pengalaman. Jika tax amnesty kedua (ketiga, red) ini hanya mengulang pola lama, maka manfaatnya akan terbatas. Perlu ada mekanisme pengawasan ketat agar dana yang masuk benar-benar berkontribusi pada perekonomian nasional,” tegas Syarief.
Di sisi lain, berdasarkan laporan yang diterima, sejumlah kalangan pekerja dan pelaku usaha kecil merasa diberlakukannya kembali kebijakan tax amnesty disayangkan. Sebab, bagi wajib pajak yang selama ini taat membayar pajak, merasa kebijakan ini malah lebih menguntungkan mereka yang kerap menghindari kewajiban pajak.
Menyadari hal ini, dirinya menyadari mendorong pemerintah untuk memastikan bahwa kebijakan tax amnesty tidak menciptakan ketidakadilan. “Kuncinya adalah transparansi. Pemerintah harus memastikan bahwa manfaat tax amnesty dirasakan oleh semua, bukan hanya segelintir orang. Skema ini harus dirancang agar dampaknya merata, termasuk menciptakan lapangan kerja baru dan mendukung UMKM,” tandasnya. (ums/rdn)