Nilai Defisit Anggaran Terlalu Tinggi Membuat Pemerintahan Baru Miliki Ruang Fiskal Terbatas
PARLEMENTARIA, Jakarta - Dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, defisit fiskal untuk tahun depan diperkirakan berada pada kisaran 2,45% - 2,82% dari Produk Domestik Bruto. Wakil ketua Komisi XI DPR RI, Dolfie Othniel Frederic Palit menilai angka tersebut merupakan angka tertinggi dibanding transisi kepemimpinan sebelumnya.
“Concern kita adalah ingin memberikan ruang fiskal seluas-luasnya kepada pemerintahan baru, sehingga pemerintahan baru bisa mengerjakan visi misinya sejak tahun pertama, itu yang sebenarnya kita dorong. Karena ada preseden dari Presiden Ibu Mega ke SBY 0,8 (persen) dari SBY ke Jokowi 2,2 (persen) ini kok dari Jokowi ke Prabowo 2,4 (persen) bahkan 2,8 (persen). Desainnya itu kan tinggi sekali,” kata Dolfie saat ditemui Parlementaria pada Senin (10/6/2024) di gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta.
Anggota Badan Anggaran DPR RI itu lantas menyampaikan bahwa apabila defisit anggaran dibuat seminimal mungkin maka akan memberikan keleluasaan bagi pemerintahan baru dalam menjalankan visi dan misinya. Ia pun menyoroti perkiraan defisit APBN 2025 yang hampir menyentuh batas 3 persen yang menjadi batas atas defisit APBN sebagaimana tertuang dalam UU Keuangan Negara.
“Harapan kita kalau itu (defisit anggaran) kecil, itu memberi ruang fiskal sebesar-besarnya kepada pemerintahan baru untuk menjalankan visi-misi pemerintahannya sejak tahun pertama, itu yang kita inginkan. Itu kan sudah hampir mencapai 3 persen, berarti ruang untuk pemerintahan yang baru kan sangat terbatas walaupun dia bisa melakukan APBN-P,” ujarnya.
Lebih lanjut Dolfie menjelaskan bahwa meski terbuka peluang untuk melakukan perubahan APBN, namun kementerian/lembaga harus tetap tunduk pada mekanisme tertentu. Hal tersebut akan berbeda apabila pemerintahan baru memiliki kesempatan untuk menentukan sendiri anggaran yang diperlukan.
“Mengelola keuangan negara dalam APBN itu kan ada mekanisme tertentu. Bagaimana kalau itu di program kementerian/lembaga? Itu ada peraturannya, perubahannya harus mengikuti apa? Itu kan nggak sefleksibel kalau misalnya pemerintahan itu sejak awal mendesain anggarannya sendiri,” tambahnya.
Merujuk pada UU nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, termaktub bahwa dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-Undang tentang APBN. adapun defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3 persen dari Produk Domestik Bruto.
Penerapan batas maksimal defisit anggaran sempat berubah pada saat Pandemi Covid-19, sebagaimana yang tertuang dalam UU nomor 2 Tahun 2020. Pada aturan tersebut dijabarkan bahwa defisit anggaran dapat melampaui 3 persen dari PDB selama masa penanganan Covid-19 dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022. Tercantum pula bahwa sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3 persen PDB. (uc/rdn)