Abdullah Sampaikan Keterangan DPR atas Uji Materiil UU HPP
PARLEMENTARIA, Jakarta - DPR RI yang diwakili oleh Anggota Komisi III DPR RI Abdullah menyampaikan keterangan DPR RI atas permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam perkara nomor 11/PUU-XXIII/2025.
Di hadapan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Abdullah menyampaikan tanggapan DPR terhadap pengujian pasal 4A ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf a, g, j UU PPN dalam pasal 4 angka 1 UU HPP dan pasal 7 ayat (1), ayat (3), ayat (4) UU PPN dalam pasal 4 angka 2 UU HPP, yakni sebagai berikut:
- Bahwa pembentukan UU HPP merupakan suatu kebijakan fiskal yang konsolidatif yang berfokus pada perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak (tax ratio),
- Kenaikan PPN menjadi 12 persen merupakan langkah yang rasional untuk menjaga stabilitas penerimaan pajak agar tidak semakin tertinggal dan memastikan kesinambungan fiskal negara,
- Bahwa pengaturan dalam UU PPN memberikan fasilitas PPN dalam tiga metode, yakni tidak dikenai PPN, PPN tidak dipungut, dan PPN dibebaskan,
- Adanya fasilitas pembebasan PPN seharusnya tidak memberikan dampak terhadap harga, karena pada dasarnya tidak ada PPN yang dikenakan,
- Salah satu perubahan yang diatur dalam UU HPP adalah dengan mengubah status barang dan jasa tertentu, antara lain barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan medis, dan jasa angkutan umum, yang sebelumnya termasuk dalam non-BKP dan non-JKP karena mendapat fasilitas 'tidak dikenai PPN' menjadi BKP dan JKP karena mendapat fasilitas 'PPN dibebaskan,
- DPR menegaskan bahwa PP 49 tahun 2022 bukanlah bentuk penghidupan kembali norma yang dihapus dalam Pasal 4A ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf a, huruf g, dan huruf j UU PPN dalam pasal 4 angka 1 UU HPP, melainkan instrumen kebijakan fiskal yang sah berdasarkan delegasi kewenangan dalam UU PPN jo. UU HPP,
- Ketentuan PP 49 tahun 2022 merinci kembali barang dan jasa kena pajak tertentu bersifat strategis atas impor dan/atau penyerangannya dibebaskan dari pengenaan PPN,
- Dengan adanya kebijakan tersebut, maka pemerintah memiliki kewenangan untuk memilah dan menentukan jenis barang dan jasa tertentu dalam kelompok barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan medis, dan jasa angkutan umum yang akan mendapatkan insentif fiskal berdasarkan kebutuhan ekonomi dan kepentingan pembangunan nasional,
- Penghapusan jasa pelayanan kesehatan medis dari daftar jasa yang tidak dikenai PPN tidak serta-merta mengakibatkan keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan bagi masyarakat,
- Penghapusan jasa pendidikan dari daftar negative list PPN dalam UU HPP bukan berarti seluruh jasa pendidikan dikenakan pajak, melainkan hanya terbatas pada jasa pendidikan yang tidak memiliki izin resmi dari pemerintah,
- Meskipun Pasal a quo menghapus jasa angkutan umum dari daftar jasa yang tidak dikenai PPN, pemerintah tetap memberikan insentif fiskal melalui Peraturan Pasal 18-21 PP 49/2022, yang membebaskan jasa angkutan umum tertentu dari pengenaan PPN. 11. Oleh karena itu, kekhawatiran bahwa kebijakan ini secara langsung menyebabkan kenaikan harga transportasi tidaklah sepenuhnya benar, karena terdapat mekanisme pembebasan pajak yang tetap berlaku untuk sektor tertentu,
- Kebijakan fasilitas PPN dibebaskan tidak akan membebankan masyarakat sebagai konsumen akhir pada dasarnya tidak ada PPN yang dibayar terhadap kelompok barang dan jasa tersebut,
- UU HPP telah memberikan kepastian hukum sejak 2021, di mana kenaikan tarif PPN dilakukan secara bertahap dari 10% menjadi 11% pada 1 April 2022, dan menjadi 12% pada 1 Januari 2025,
- UU HPP telah memberikan kepastian hukum sejak 2021, di mana kenaikan tarif PPN dilakukan secara bertahap dari 10% menjadi 11% pada 1 April 2022, dan menjadi 12% pada 1 Januari 2025,
- Sementara itu, barang dan jasa yang tidak tergolong mewah tetap dikenakan tarif efektif PPN sebesar 11% melalui mekanisme Dasar Pengenaan Pajak (DPP) berbasis nilai tain dengan dasar hukum Pasal 8A dan Pasal 16G UU PPN JO. UU HPP,
- Berdasarkan kajian akademik, kenaikan PPN menjadi 12% hanya akan berkontribusi terhadap kenaikan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 0,8-1%, dan dampak ini lebih banyak terjadi pada barang sekunder dan tersier, bukan pada barang kebutuhan pokok,
- Bahwa ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU PPN berkaitan erat dengan ketentuan Pasal 7 ayat (4) UU PPN dalam Pasal 4 angka 2 UU HPP yang merupakan norma baru, sehingga saat ini peran DPR RI sebagai representasi rakyat dihadirkan untuk membahas dan menyepakati perubahan tarif PPN dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN),
- Bahwa penyusunan RAPBN diawali dengan penyampaian pokok pembicaraan pendahuluan RAPBN oleh Pemerintah dalam Rapat Paripurna DPR RI, dalam rangka membahas asumsi dasar tersebut, Komisi XI DPR RI membentuk beberapa panja, salah satunya adalah Panja Penerimaan (Perpajakan),
- Selain itu, rentang tarif PPN dari 5% hingga 15% sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal a quo merupakan kebijakan fiskal yang fleksibel, yang memungkinkan pemerintah untuk menyesuaikan tarif berdasarkan kondisi ekonomi nasional dan kebutuhan fiskal negara,
- Bahwa ketentuan penetapan tarif batas atas dan bawah PPN ini merupakan hal yang umum dalam sistem pengaturan perpajakan dalam peraturan perundang-undangan,
- Begitu pula pengaturan tarif perpajakan melalui Peraturan Pemerintah bukanlah suatu hal yang baru dan telah menjadi praktik yang lazim dalam sistem perpajakan nasional,
- Bahwa pendelegasian ini sejalan dengan pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 128/PUU-VII/2009 yang pada pokoknya menyatakan bahwa pengaturan lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan merupakan diskresi yang diberikan oleh undang-undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi karena pelimpahan pengaturan tersebut merupakan delegasi kewenangan yang sah,
- Bahwa perubahan tarif PPN dalam range 5% - 15% melalui Peraturan Pemerintah tetap harus mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan sebagaimana telah diuraikan dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (3) dalam Pasal 4 angka 2 UU HPP.
Dengan demikian, Abdullah mengatakan bahwa dalil para pemohon bahwa Pasal 7 ayat (3) dalam Pasal 4 angka 2 UU HPP bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena menyebabkan ketidakpastian hukum adalah tidak berdasar.
"Rentang tarif PPN yang diatur dalam ketentuan ini tetap berada dalam sistem hukum yang transparan, di bawah pengawasan DPR RI, serta merupakan bagian dari fleksibilitas kebijakan fiskal yang sah," jelasnya di hadapan majelis hakim MK, di Ruang MK, di Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (9/7/2025).
Untuk itu, ia pun mengatakan permohonan agar Majelis Hakim MK dapat memeriksa, memutus dan mengadili perkara a quo dan dapat memberikan putusan menolak permohonan provisi para pemohon untuk seluruhnya. (bia/aha)